Mengenal Dayah; Institusi Pendidikan Resmi Negara Masa Kesultanan

 

Dayah adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara. Pada masa kesultanan di Aceh, dayah merupakan institusi pendidikan resmi negara. Semua aparatur negara baik sipil maupun militer hingga sultan adalah merupakan lulusan dayah. Dalam perkembangannya, dayah telah mencapai puncak kemajuannya pada masa kesultanan dan mulai mengalami kemunduran pada saat penjajahan Belanda di Aceh hingga sekarang.

Secara bahasa (etimologi) dayah berasal dari kata “Zawiyah”, dalam bahasa Arab berarti sudut. Zaman dahulu, pengajian biasa dilakukan secara berkelompok pada sudut-sudut masjid. Ada yang mengatakan bahwa pada zaman Rasulullah Saw beliau mengajarkan ilmu kepada sahabat yang berkumpul pada sudut-sudut masjid. Kata zawiyah berubah menjadi dayah mengikuti dialek bahasa Aceh, di Aceh Besar juga sering diucapkan dengan deyah.

Meski terlihat sama dengan lembaga pendidikan Islam lainnya di Nusantara seperti pesantren di jawa dan surau di Sumatra barat, dayah memiliki latar belakang historis yang berbeda.

Dayah pertama dibangun pada masa kerajaan Islam Perlak.  Dayah ini diberi nama Dayah Cot Kala, yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Amin yang kemudian di dikenal dengan Teungku Chik Cot Kala. Lembaga  tersebut adalah lembaga pendidikan tinggi pertama di Nusantara. Pendapat lain mengatakan bahwa dayah pertama yang didirikan di Aceh adalah Dayah Buket Cibrek, Perlak yang diresmikan pada tahun 250 H.

Sistem pendidikan dayah pada masa kesultanan memiliki tiga tingkatan: rangkang (junior), balè (senior), dan Dayah manyang (universitas). Sumber lain menyebutkan, secara umum dayah terbagi dalam dua jenis : Dayah Cut (setingkat Tsanawiyah) dan Dayah Chik (setingkat universitas) seperti Dayah Cot Kala. Biasanya, pelajar yang diterima di dayah adalah mereka yang telah memiliki kemampuan dasar membaca Al Qur’an dan  menulis yang diperoleh dari teungku menasah (tempat belajar tingkat kanak-kanak) yang ada di setiap Gampong.

Sejarawan berpendapat bahwa dayah sebelum perang Belanda-Aceh merupakan institusi pendidikan agama dan umum, termasuk didalamnya astronomi, kesehatan, dan pertanian. Pernyataan ini didukung fakta bahwa Tgk Chik Kuta Karang menulis kitab di bidang astronomi dan pertanian yang berjudul Taj al-Muluk. Pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda terdapat 44 Syaikh yang mengajar ilmu pengetahuan tambahan selain agama, seperti filsafat, politik dan sejarah. Sultan Iskandar Muda sendiri mendapat pelajaran militer dari teungku dayahnya saat ia masih muda.

Pada masa penjajahan Belanda, dayah mengalami kemunduran, terutama sekali dalam aspek kualitas. Selain karena akibat banyaknya ulama yang syahid di medan perang, juga karena banyak fasilitas seperti perpustakaan dan kitab-kitab dibumihanguskan. Belanda juga mengontrol lembaga pendidikan dibawah kekuasaan mereka. Mereka melarang mengajarkan beberapa mata pelajaran yang berhubungan dengan politik dan dianggap dapat memajukan kebudayaan ummat. Akibatnya banyak mata pelajaran yang tidak diajarkan lagi di dayah pada waktu itu. Kemudian tinggallah ilmu-ilmu yang berhubungan dengan ibadah semata-mata, yaitu fikih, tauhid, dan tasawuf. Sedangkan ilmu-ilmu lain seperti mantiq (logika) dan nahwu-sharaf hanya sebatas untuk membantu membaca dan memahami kitab kuning dan teks-teks agama saja.






Berlangganan update artikel terbaru via email:

Belum ada Komentar untuk "Mengenal Dayah; Institusi Pendidikan Resmi Negara Masa Kesultanan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel